Oleh:Dr. H. Irmanjaya Thaher, S.H., M.H, Associate Professor Hukum Tata Negara, Universitas Esa Unggul.
Pendahuluan ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia saat ini mengarah pada eskalasi yang semakin kompleks—mulai dari perang tarif hingga ancaman perang terbuka. Indonesia sebagai negara non-blok di kawasan Indo-Pasifik harus melakukan kalkulasi strategis terhadap kemungkinan keterlibatan dalam konflik besar dan mempersiapkan postur nasionalnya, baik dari aspek militer, ekonomi, maupun diplomatik.
I. Kesiapan Indonesia untuk Berperang
Secara militer, Indonesia belum sepenuhnya siap menghadapi perang berskala besar. Dibandingkan dengan kekuatan militer Tiongkok, Rusia, dan NATO, Indonesia memiliki kekuatan terbatas baik dari segi personel aktif, alutsista, maupun logistik pertahanan:
Personel aktif militer Indonesia hanya berkisar ±400.000 orang, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan China (2 juta) atau NATO (lebih dari 5 juta).
Kekuatan udara dan laut Indonesia masih terbatas, dan belum mampu bersaing dengan kekuatan udara NATO (20.723 pesawat) atau kekuatan laut China (777 armada).
Logistik dan industri militer nasional masih sangat bergantung pada impor dan transfer teknologi dari negara lain.
Dari sisi ekonomi, Indonesia sangat bergantung pada stabilitas perdagangan internasional, khususnya ekspor ke Tiongkok dan Amerika Serikat. Jika konflik meningkat menjadi perang terbuka, perdagangan dan logistik akan terganggu secara besar-besaran. Akibatnya, Indonesia berpotensi mengalami krisis fiskal, inflasi tinggi, dan gangguan terhadap pasokan energi dan pangan.
II. Blok Mana yang Paling Menguntungkan Bagi Indonesia?
Tiga kekuatan utama dunia—China, Rusia, dan NATO—memiliki pengaruh besar terhadap lanskap geopolitik dan ekonomi global. Indonesia perlu menilai secara strategis blok mana yang paling menguntungkan untuk dijadikan mitra utama dalam menjaga stabilitas nasional.
1. Blok NATO (Amerika Serikat dan sekutu Eropa)
Menguasai lebih dari 70% kekuatan udara dan laut dunia.
Unggul dalam teknologi, inovasi, dan kekuatan diplomatik global.
Pasar ekspor utama bagi produk agrikultur dan manufaktur Indonesia.
2. Blok China
Mitra dagang terbesar Indonesia, khususnya dalam sektor tambang, energi, dan infrastruktur.
Investasi besar dalam proyek-proyek Belt and Road Initiative (BRI).
Namun, jika konflik dengan AS semakin tajam, Indonesia bisa terkena imbas ekonomi yang signifikan.
3. Blok Rusia
Lebih relevan dalam kerja sama pertahanan dan energi.
Namun, kontribusi ekonominya terhadap Indonesia masih sangat terbatas.
Terisolasi secara internasional akibat perang di Ukraina.
Kesimpulan: Blok NATO menawarkan keuntungan jangka panjang yang lebih kuat, terutama dalam hal stabilitas teknologi, ekonomi, dan diplomasi internasional. Namun, kerja sama ekonomi dan investasi dengan China tetap harus dipertahankan dengan pendekatan pragmatis dan taktis.
III. Apa yang Harus Disiapkan Indonesia?
1. Modernisasi Pertahanan Nasional
Meningkatkan anggaran pertahanan untuk pembelian dan produksi alutsista strategis.
Penguatan sistem pertahanan udara dan laut di wilayah perbatasan.
Membangun industri pertahanan dalam negeri yang mandiri.
2. Diplomasi Aktif dan Netralitas Strategis
Menjaga posisi Indonesia sebagai negara non-blok yang aktif dalam diplomasi perdamaian.
Memperkuat peran dalam ASEAN, G20, dan forum multilateral lainnya.
Menjadi bridge builder antara blok Barat dan Timur.
3. Ketahanan Ekonomi dan Pangan
Diversifikasi pasar ekspor dan impor untuk mengurangi ketergantungan pada satu negara.
Pembangunan lumbung pangan nasional dan energi terbarukan.
Peningkatan kapasitas industri lokal dalam menghadapi krisis global.
4. Penguatan Siber dan Teknologi Strategis
Membangun pertahanan siber nasional yang kuat.
Kolaborasi dengan sektor swasta untuk pengembangan teknologi digital dan keamanan.
Investasi di bidang kecerdasan buatan, sistem pengawasan, dan komunikasi strategis.
Penutup, Indonesia perlu mempersiapkan diri tidak hanya dari sisi militer, tetapi juga dari aspek diplomasi, ekonomi, dan teknologi. Menjadi kuat tidak berarti ikut berperang, melainkan mampu bertahan dan mengambil peran strategis dalam menjaga perdamaian dunia. Dalam dunia yang semakin tidak pasti, kemandirian nasional dan kepemimpinan diplomatik adalah kunci utama.
(Hendriyawan)